Pesan politik merupakan salah satu unsur penting dalam komunikasi politik. Pesan dapat diterjemahkan sebagai informasi yang dikirimkan oleh komunikator kepada komunikan. Selain itu pesan juga dapat diartikan sebagai pemikiran dan gagasan yang diungkapkan melalui bahasa. Dalam komunikasi antar manusia, pesan dapat berbentuk verbal atau non-verbal.[1]
Ada beberapa jenis pesan dalam komunikasi politik. Lynda Lee Kaid mengidentifikasi tiga pesan, yakni melalui retorika politik, iklan politik dan debat kandidat.[3] Sementara Dan Nimmo mengidentifikasikannya menjadi propaganda, periklanan dan retorika.[4] Dalam penelitian ini penulis merumuskan pesan-pesan politik ke dalam tiga bentuk, yakni retorika, iklan politik, dan propaganda.
a. Retorika
Sambil mengutip Cicero, Bruce Gronbeck, dalam Lynda Lee Kaid, mengatakan bahwa the good man speaking well. Kalimat ini menjadi dasar bagi Gronbeck dalam memformulasikan teorinya mengenai retorika politik. Menurut Gronbeck, retorika adalah kemampuan berbicara di muka publik dengan berbagai teknik untuk bukan saja menyampaikan pesan, melainkan juga menanamkan pengaruh. Sementara retorika politik diterjemahkan sebagai cara yang dilakukan para komunikator politik dalam berinteraksi dengan publik. Pada dasarnya, menurut Gronbeck, tanpa memasukan kata “politik” pun retorika merupakan sebuah wacana yang sepenuhnya politis karena mengandung kepentingan politik.[5]
James Boyd White melihat retorika sebagai domain yang luas dari pengalaman sosial dalam wujud bahasa. Berbekal teori social construction, White percaya bahwa budaya “disusun kembali” (reconstituted) melalui bahasa. Sebagaimana bahasa mempengaruhi manusia, manusia juga mempengaruhi bahasa. Bahasa pada dasarnya socially constructed, dan maknanya bergantung pada maksud dari manusia yang menggunakannya. Dan dari yang bersifat socially constructed, bahasa kemudian dapat juga menjadi alat merekonstruksi sosial. Retorika membuktikan hal itu sejak zaman Plato.[6]
Dan Nimmo mendefinisikan retorika sebagai komunikasi dua arah, satu-kepada-satu, dalam arti satu orang atau lebih, yang saling berusaha untuk mempengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik.[7]
Sebagai kesimpulan, dalam penelitian ini retorika didefinisikan sebagai komunikasi dua arah yang disampaikan di depan publik dengan berbagai teknik tertentu untuk melakukan transmisi pesan sekaligus menanamkan pengaruh. Retorika merupakan seni penggunaan bahasa untuk berkomunikasi secara efektif dan persuasif.
Sambil mengutip Aristoteles, Dan Nimmo mengklasifikasikan retorika menjadi tiga jenis, yakni retorika deliberatif, retorika forensik dan retorika demonstratif.[8]
Retorika deliberatif dirancang untuk mempengaruhi orang-orang dalam urusan kebijakan pemerintah dengan menggambarkan keuntungan dan kerugian relatif dari cara-cara alternatif. Fokusnya adalah pada apa yang akan terjadi di masa depan jika suatu kebijakan tertentu diambil atau tidak diambil.[9]
Retorika forensi menyangkut ruang yuridis. Fokusnya pada apa yang terjadi di masa lalu untuk menunjukan bersalah atau tidak bersalah, pertanggungjawaban, atau hukuman dan ganjaran. Setting-nya biasanya dilakukan di ruang sidang, meskipun terjadinya di tempat lain.[10]
Retorika demonstratif merupakan pidato epideiktik, wacana yang memuji dan menjatuhkan. Tujuannya adalah untuk memperkuat sifat baik dan sifat buruk seseorang, suatu lembaga atau gagasan. Kampanye politik biasanya menggunakan retorika demonstratif.[11]
b. Iklan Politik
Selain retorika, pesan dalam komunikasi politik adalah iklan politik. Menurut Lynda Lee Kaid, sebagai sebuah bentuk komunikasi politik, iklan politik telah berkembang menjadi bentuk dominan dalam komunikasi antara para kandidat dan pemilih, terutama di Amerika. Dalam bentuknya yang berbeda, iklan politik juga telah menjadi sebuah bentuk komunikasi bagi negara-negara demokratis di seluruh dunia.[12]
Iklan politik pada tabiatnya hampir sama dengan iklan komersial. Sepak terjangnya bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (dalam hal ini parpol) yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (dalam hal ini Pemilu) tanpa mengandalkan iklan politik.
Iklan politik, menurut Lynda, merupakan proses komunikasi dimana sebuah partai politik atau seorang kandidat “membeli” kesempatan untuk mengekspos dirinya kepada komunikan melalui saluran media massa untuk menyampaikan pesan-pesan politik dengan tujuan mampu memberikan efek berupa pengaruh dalam membentuk sikap politik, kepercayaan dan atau tingkah laku komunikan.[13]
Ada dua hal penting dalam definisi di atas, yakni iklan politik dapat melakukan kontrol terhadap pesan dan penggunaan media massa sebagai saluran distribusi pesan. Pada yang pertama, seorang kandidat atau sebuah partai politik dapat mengemas, menentukan dan mengontrol pesan apa yang ingin disampaikan kepada audiens. Pada yang kedua, media kemudian juga mempunyai peran signifikan atas “evolusi makna” pada pesan politik yang ingin disampaikan kandidat atau partai politik.
Menurut Dan Nimmo, iklan politik merupakan komunikasi satu-kepada-banyak; iklan mendekati individu-individu tunggal, independen, terpisah dari kelompok apapun yang menjadi identifikasinya dalam masyarakat.[14]
Iklan politik tidak lepas dari kepentingan yang mengarahkan dan mempengaruhi opini publik demi sebuah tujuan yang telah direncanakan oleh pembuat iklan. Opini publik yang kemudian terbangun melalui iklan diharapkan dapat mengarahkan masyarakat umum untuk membeli dan mengkonsumsi “produk” yang diiklankan.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pesan yang disampaikan melalui iklan politik otomatis akan sampai kepada audiens sebagaimana harapan komunikator, dalam hal ini kandidat atau partai politik? Jawaban atas pertanyaan ini terumus atas tiga kondisi, yaitu: Pertama, bagaimana pesan itu dikemas sehingga efektif masuk ke dalam benak audiens dan memberikan efek yang kuat pada tingkah laku untuk memutuskan dalam memilih; Kedua, peran besar media yang mampu menentukan apakah komunikator akhirnya memiliki kesempatan untuk menyampaikan pesannya. Artinya, apakah komunikator diberikan cukup waktu oleh media untuk menayangkan iklan politiknya, seberapa besar biaya iklan itu, dan akan ditayangkan pada waktu yang seperti apa oleh media. Ketiga, memperhatikan regulasi atau Undang-Undang yang mengatur soal iklan politik, dalam hal ini Undang-Undang berkampanye. Ada aturan dan batasan bagi kandidat atau partai politik untuk menyampaikan pesan politiknya melalui iklan politik.
Pada umumnya penelitian mengenai iklan politik terbagi ke dalam dua kategori; penelitian mengenai konten iklan politik dan penelitian yang terfokus pada efek yang ditimbulkan oleh iklan politik. Di Indonesia sendiri penelitian tentang iklan politik lebih banyak pada konten iklan. Padahal, dalam pandangan penulis, penelitian mengenai efek iklan juga merupakan hal yang sangat signifikan.
Menurut Lynda Lee Kaid, penelitian atas efek iklan politik pada umumnya terbagi menjadi tiga kategori; efek pada tingkat pengetahuan pemilih (efek kognitif), efek pada persepsi pemilih terhadap kandidat (efek afektif), dan efek terhadap tingkah laku pemilih (efek behavior), termasuk efek dalam memutuskan untuk memilih.[15]
Menurut Gati Gayatri, kampanye melalui iklan dalam media massa terbukti menimbulkan efek tertentu pada perilaku memilih yang ditunjukkan masyarakat dalam pemilu. Efek tersebut bisa berupa perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap atau perilaku; bersifat mikro terjadi secara individual atau makro terjadi secara menyeluruh pada suatu sistem sosial; bersifat langsung atau kondisional, karena isu media tertentu saja atau secara umum; dan bersifat alterasi atau stabilisasi.[16]
Iklan politik melalui media massa merupakan salah satu alternatif yang sering dipilih parpol dan kandidat dalam pelaksanaan kampanye pemilu. Meskipun harus mengeluarkan dana yang besar, parpol dan kandidat sering menggunakan iklan dalam media massa sebagai salah satu alat untuk memudahkan upaya pencapaian tujuan-tujuan politik mereka. Pertimbangan-pertimbangan yang menjadi landasan mereka memutuskan menggunakan media komunikasi politik itu biasanya adalah faktor keunggulan media massa dalam menjangkau khalayak yang sangat luas dan faktor peluang menyampaikan pesan-pesan politik dengan berbagai pilihan strategi komunikasi.
c. Propaganda
Teknik penyampaian pesan lain di samping retorika dan iklan politik adalah melalui Propaganda. Propaganda diakui sebagai salah satu teknik paling kuat dalam menanamkan pengaruh kepada massa.
Bernays, seperti dikutip Nurudin, mendefinisikan propaganda sebagai suatu usaha yang bersifat konsisten dan terus menerus untuk menciptakan atau membentuk peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan politik terhadap suatu usaha atau kelompok.[17]
Menurut Jacques Ellul, seperti dikutip Dan Nimmo, propaganda adalah suatu alat yang digunakan oleh kelompok yang terorganisasi untuk menjangkau individu-individu yang secara psikologis dimanipulasi dan digabungkan ke dalam suatu organisasi.[18]
Garth S. Jowett dan Victoria O'Donnell mendefinisikan propaganda sebagai sebuah usaha yang sengaja dan sistemik untuk membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan mengatur tingkah laku untuk mendapatkan respons sesuai seperti yang diinginkan oleh propagandis.[19]
Dengan demikian, pada dasarnya propaganda merupakan “metode” komunikasi yang dilakukan untuk memberikan pengaruh kepada massa melalui teknik-teknik tertentu. Umumnya propaganda lebih ditujukan pada emosi massa dibanding pada intelek massa. Karena itu seringkali propaganda tidak sekedar “mempengaruhi” namun juga “menggerakan” massa.
Nurudin mengidentifikasi enam komponen yang terdapat dalam propaganda;[20] Pertama, dalam propaganda selalu ada pihak yang dengan sengaja melakukan proses penyebaran pesan untuk mengubah sikap dan tingkah laku sasaran propaganda. Pelaku penyebar pesan dalam propaganda disebut propagandis.
Kedua, propaganda dilakukan secara terus menerus. Hal ini berbeda dengan kampanye yang umumnya dilakukan secara temporer. Ketiga, dalam propaganda terdapat proses penyampaian ide, kepercayaan atau bahkan doktrin. Keempat, propaganda memiliki tujuan untuk mengubah pendapat, sikap dan tingkah laku individu atau kelompok lain.
Kelima, propaganda adalah usaha sadar; sebuah cara yang sistematis, prosedural dan terencana dengan matang. Keenam, untuk mencapai tujuannya, propaganda biasanya menggunakan media yang tepat, terutama media massa.
Propaganda dapat diklasifikasi menjadi tiga bentuk berdasarkan sumber dan asal pesan, yakni white propaganda, black propaganda dan grey propaganda. White propaganda (propaganda putih) berasal dari sebuah sumber terbuka yang dapat diidentifikasi, dan karakteristiknya adalah menggunakan metode persuasi, seperti yang biasa digunakan dalam teknik public relation. Black propaganda (propaganda hitam) berasal dari satu sumber saja, dan ini merupakan fakta bagi orang atau kelompok lain. Black propaganda digunakan untuk memojokan atau memberikan citra negatif kepada lawan politik. Grey propaganda (propaganda abu-abu) berasal dari sumber yang sulit dikenali. Tujuan utama grey propaganda adalah untuk membuat lawan percaya pada kesalahan propagandis dengan menggunakan argumen “straw” atau argumen yang sesungguhnya bersifat sebaliknya. Misalnya propagandis ingin membuat pemerintah mengatakan “A”, namun propagandis itu mengatakan “B” sambil menggiring pemerintah untuk meyakini bahwa “B” itu salah dan yang benar adalah “A”. Maka pemerintah akan berasumsi bahwa “A” adalah yang benar, sebagaimana tujuan propagandis.[21]
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Message, Tanggal 9 November 2010.
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/The_medium_is_the_message, Tanggal 9 November 2010.
[3] Lynda Lee Kaid, Handbook of Political Communication Research (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2004).
[4] Dan Nimmo, Op. Cit., p. 118-164.
[5] Ibid, p. 143.
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Rhetoric, Tanggal 9 November 2010.
[7] Dan Nimmo, Op. Cit., p. 140.
[8] Ibid, p. 142-143.
[9] Ibid.
[10] Ibid, p. 143.
[11] Ibid.
[12] Lynda, Op. Cit,. p. 155.
[13] Ibid, p. 156.
[14] Dan Nimmo, Op. Cit, p. 133.
[15] Ibid, p. 166-167.
[16] Gati Gayatri, “Efek Iklan Politik dalam Media Massa Terhadap Perilaku Memilih dalam Pemilu,” http://www. balitbang.depkominfo.go.id/, Tanggal 1 Desember 2010.
[17] Nurudin, Komunikasi Propaganda (Bandung: Rosdakarya, 2001), p. 10.
[18] Dan Nimmo, Op. Cit, p. 124-125.
[19] Garth S. Jowett and Victoria O'Donnell, Propaganda and Persuasion, Fourth Edition (California: Sage Publication, 2006), p. 7.
[20] Nurudin, Op. Cit, p. 10-11.
[21] http://en.wikipedia.org/wiki/Propaganda